Lee Chan dan David adalah pasangan suami-istri Buddhis yang sering berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan Sangha di Wihara Bodhinyana, Perth, Australia dan di beberapa wihara lain. Setelah 10 tahun tinggal di Perth dan rutin menjalani perbuatan baik ini, Lee sadar bahwa butuh usaha lain untuk mengembangkan Buddhisme. Ia kemudian mendirikan sekolah Minggu Buddhis bagi anak-anak.
Mereka sadar bahwa masa paling krusial dalam pembentukan kepribadian adalah pada masa kanak-kanak dan remaja. Banyak orang berbondong-bondong membangun wihara untuk memfasilitasi ibadah umat Buddha. Padahal, kalau cuma wihara yang bertebaran sementara pendidikan Buddhis tidak diindahkan, Buddhisme tidak akan berkembang.
“Siapa pun yang tertarik bisa datang dan bergabung,” ujar Lee yang bersama suaminya kompak mencukur habis rambutnya. Ia membuka sekolah Minggu untuk semua anak dari semua kalangan. Ia tidak membatasi agama lain untuk belajar nilai-nilai Buddhisme di sekolah Minggunya. Di samping itu, ia tidak mengajarkan teori-teori dalam Buddhisme semata. Ia fokus pada pembentukan kepribadian yang baik yang sesuai Dharma. Ia menggunakan kalimat sederhana yang dipahami anak-anak dalam mengajar. Misalnya saat mengajar sila pertama Pancasila Buddhis, ia menjelaskan dengan cara, “Membunuh binatang adalah perbuatan buruk. Kalian hanya perlu membawa binatang itu keluar jika merasa terganggu.”
Lee mengondisikan sekolah Minggu yang berbeda dengan sekolah Minggu pada umumnya. Kalau kita terbiasa dengan membaca paritta atau sutra, menyanyikan lagu Buddhis, kemudian pulang dengan membawa makanan dari sekolah Minggu, Lee punya cara yang unik dalam mengajar anak-anak. Ia memeluk setiap anak muridnya sebagai salah satu bentuk kasih sayang yang selalu diajarkannya. Ia menginginkan anak-anak merasakan kehangatan dan melakukan hal yang sama kepada orangtua mereka. Lee memanggil semua orang dengan sebutan “Darling”. Ia menjelaskan kepada murid-muridnya, “Kalian harus menyayangi orangtua, adik, kakak, guru, teman, dan semua makhluk.” Karena hal ini, ia bahkan mendapatkan julukan “Hugging-teacher-Lee”. Walaupun Lee kadang tidak sempat untuk mengajar di sekolah Minggu, anak-anak selalu datang kepadanya dan memeluknya. Setelah itu, ia akan menyempatkan waktu untuk mendengarkan anak-anak bercerita tentang orangtua dan masalah-masalah mereka.
“Anak-anak sangat jujur. Setiap masalah yang tidak berani mereka ceritakan kepada orangtua, mereka ceritakan kepada guru sekolah Minggu,” kata Lee. Pernah suatu kali seorang anak bercerita bahwa orangtuanya melanggar salah satu sila yang sudah diajarkan padanya. Lee lalu menemui orangtua anak tersebut dan bicara kepada mereka bahwa jika mereka ingin anak-anak menjaga sila, mereka juga harus mempraktikkan Pancasila Buddhis supaya tidak membuat anak-anak bingung.
Inilah perbedaan sekolah Minggu yang didirikan Lee dengan sekolah Minggu lain. Interaksi antara guru dan murid sangat erat, sehingga anak-anak selalu menanti hari Minggu. Mereka tidak hanya mendapatkan teman bermain, tetapi juga mendapatkan kasih sayang yang jarang didapatkan dari orangtua mereka yang sibuk.
Tidak hanya itu, sekolah Minggu ini juga mengajarkan Dharma dengan cara yang menarik. “Pada akhir tahun, murid dari seluruh kelas bergabung untuk membuat sebuah drama Buddhis. Karena itu, mereka menjadi dekat satu sama lain,” ujar David. Cerita yang sering diadaptasi ke dalam drama Buddhis adalah cerita-cerita lucu yang dikisahkan oleh Ajahn Brahm. Metode pengajaran Dharma seperti ini sangat disukai anak-anak dan bahkan para orangtua.
Meditasi juga diajarkan di sekolah Minggu. Lagi-lagi, uniknya, anak-anak tidak dipaksa meditasi. Mereka dibiasakan secara bertahap: mulai dari duduk diam selama 5 menit untuk mendengarkan kicauan burung dan suara alam, kemudian durasi ditambah menjadi 10 menit, sebelum akhirnya mereka diajarkan meditasi dengan memerhatikan napas selama 15 menit.
Minat orang Australia terhadap Buddhisme terbukti amat besar. Hal ini terlihat dari total 100 anak yang didaftarkan oleh orangtua untuk belajar Dharma di sekolah Minggu yang diadakan di Dhammaloka City Centre, Perth. Bahkan, ada 20 anak lagi dalam waiting list yang menunggu kesempatan untuk belajar Dharma. Lee tidak langsung menerima anak-anak dalam waiting list. “Saya ingin fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Karena, kami harus memberi perhatian kepada anak-anak dan berbicara dengan mereka,” ujarnya. Alasan lainnya adalah karena sekolah Minggu hanya memiliki sembilan guru yang semuanya relawan, sehingga jumlahnya tidak memadai untuk memerhatikan lebih banyak anak. Meskipun semua guru adalah relawan, mereka direkrut dengan kualifikasi khusus, untuk menjamin mereka bisa mengajar dan berinteraksi dengan baik dengan anak-anak.
Murid sekolah Minggu dibagi ke dalam empat kelas. Yang pertama adalah Pre-Primary ( 3-5 tahun), Junior ( 5-7 tahun), Middle (8-12 tahun), dan Senior (12-17 tahun). Sekolah Minggu ini juga memiliki peraturan layaknya sekolah formal dan memiliki silabus yang baku.
“Sekolah Minggu adalah pendekatan yang halus. Hal ini seperti menanamkan benih ke dalam anak-anak. Jika setelah lulus dari sekolah Minggu ini mereka memilih beragama Islam atau Kristen, semua itu keputusan mereka,” ujar David. “Tak pandang apa agama mereka, kami senang mendidik anak-anak sejak kecil untuk menanamkan nilai-nilai yang baik, nilai-nilai universal yang didasari oleh nilai-nilai Buddhisme.” (Paramita Gotami)
Sumber: BuddhaZine
0 komentar:
Posting Komentar