Jangan Ciptakan Monster di Rumah Anda


Hendry F. Jan | Jumat, 2 Februari 2018 15.00 PM Life
M-Scrofani

“Kecanduan Gawai Akut, 2 Pelajar Bondowoso Masuk RS Jiwa,” begitu judul berita di media online pada pertengahan Januari 2018. Betapa mengerikan dampak gawai (gadget) bagi putra-putri kita.

Di FB penulis juga pernah melihat video bagaimana putus asanya orangtua yang anaknya kecanduan gawai (tentunya kecanduan game). Anak sudah tidak peduli dengan apa yang dikatakan orangtua. Ia jadi malas belajar, bahkan sudah tidak mau sekolah.

Saking putus asanya, orangtua dalam video tersebut membanting, membakar, membuang gawai (gadget) yang sedang dimainkan anaknya. Anak pun menjerit histeris, mengamuk sejadi-jadinya, menghancurkan apa saja. Mereka layaknya jadi monster yang tidak bisa dikendalikan.



Kecanduan gawai
Di tempat umum mana pun, kita dengan mudah menemukan orang yang asyik dengan smartphone-nya. Mulai dari santai di kafe, di halte bus, sampai sedang mengendarai kendaraan di jalan . Akibat tidak fokus, tidak sedikit yang berakhir tragis (kematian).


Orang dewasa yang seharusnya sudah matang pemikirannya saja bisa terhanyut dan kecanduan, apalagi anak kecil.

Anak Anda rewel, saat Anda sedang sibuk. Apa solusi paling mudah? Cara paling mudah adalah memberinya smartphone yang ada game-nya. Anda bisa bekerja dengan tenang (atau asyik dengan medsos), anak Anda jadi tidak rewel dan tidak mengganggu aktivitas Anda.

Disadari atau tidak, inilah awal mulanya anak akan kecanduan dan kita mulai menciptakan monster di rumah kita. Apakah Anda merupakan salah satu orangtua yang melakukan hal ini? Jika iya, mari segera berubah


Batasi sejak dini
Memberikan gawai yang berisi game memang solusi paling mudah. Kelihatannya aman (secara fisik permainan di dunia maya ini aman). Anak Anda tidak akan terluka akibat memainkannya, beda dengan permainan konvesional yang banyak memerlukan gerak fisik.

Tapi dampak buruk game jauh lebih parah daripada permainan konvensional. Untuk tumbuh kembang, permainan konvensional jauh lebih baik. Permainan konvensional membuat anak banyak bergerak dan bersosialisasi. Gerak dalam bermain dan bersosialisasi dengan teman sangat baik bagi tumbuh kembang buah hati kita.

Bandingkan dengan anak yang bermain game. Dalam permainan di dunia maya ini, yang lebih banyak bergerak hanyalah jari tangan. Dan permainan ini membuat anak lupa dengan dunia di sekitarnya (antisosial) dan tentu saja bersifat adiktif (membuat anak kecanduan).


Ayo kita peduli
Penulis pernah menyaksikan langsung bagaimana buruknya dampak game bagi seorang anak. Anak jadi temperamental, nilai pelajaran menurun, dan susah diajak berkomunikasi.

Saat diajak bicara, dia malas menjawab dan tetap fokus ke gawainya. Kalaupun menjawab, jawabannya pendek-pendek dan ia berharap tidak terus ditanya karena mengganggu waktu bermainnya.

Dari sini kebohongan pun dimulai. Ada PR? Jawaban yang keluar, “Tidak ada.” Atau jika kita tahu ada PR, dan tanya sudah buat PR? “Sudah,” jawabnya, meski belum dikerjakan.

Anak jadi malas berkomunikasi dan lebih tertutup. Kalau begini, kita jadi tidak bisa memantau perkembangan anak. Tidak tahu ia sedang dekat dengan siapa, apakah ia ada masalah di sekolah, dan hal lainnya.

Akibat kecanduan game, susah disuruh mandi, jam tidur bergeser jadi lebih malam, bangun pagi lebih sulit, tidak konsen saat belajar di sekolah.


Mengalah untuk menang
Sebagai orangtua, anak adalah harta kita yang paling berharga. Mari kita mengalah untuk menyelamatkan masa depan buah hati kita. Kurangi kesenangan kita pada medsos, sisihkan waktu lebih banyak berinteraksi dengan anak.

Mari kita menyelami dunia anak kita. Orangtua harus bisa jadi orangtua bagi anak, sekaligus kakak (tempat curhat), dan teman sebaya (bisa diajak main bareng).

Mulailah mendongeng untuk anak balita kita sebelum tidur, luangkan waktu bermain bersama layaknya kita teman sebayanya, duduk bersama, temani dia saat mengerjakan PR, dan dengarkan curhatnya. Jika kita dekat dengan anak kita, apa pun yang terjadi, ia akan curhat ke kita, bukan cerita ke orang lain dan mendapat solusi yang belum tentu benar.


Batasi main game
Anak tidak boleh main game? Itu bukanlah solusi yang bijak. Zaman sudah berubah, kita tidak mungkin menjaga anak kita agar sama sekali tidak menyentuh gawai dan bermain game di dunia maya.

Boleh saja main game tapi dengan pembatasan. Kami membatasi anak hanya boleh main game hanya pada akhir pekan (Jumat dan Sabtu). Itu pun setelah semua tugas sekolah telah diselesaikan. Minggu tidak boleh pegang gawai karena konsen untuk pujabakti di vihara. Hari Minggu waktu untuk keluarga. Tapi aturan ini bersifat  fleksibel kok. Kadang anak butuh smartphone untuk berkomunikasi dengan temannya tentang tugas sekolah atau kadang digunakan untuk mengerjakan tugas sekolah.

Pembatasan penggunaan gawai harus dimulai sejak dini, karena jika anak sudah kecanduan (baca: jadi monster), itu sudah terlambat. Butuh waktu, tenaga, dan kesabaran ekstra untuk mengembalikan anak ke jalurnya. Mari mulai dari sekarang, atau kelak Anda akan menyesalinya. Percayalah, mencegah jauh lebih baik daripada mengobati.



 


Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan. Pembuat Apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.


Sumber: BuddhaZine

Magic for Dhamma di Vihara Dharma Jaya, Petak Sembilan, Jakarta

Litar Suryadi selama ini single fighter mengisi sharing Dhamma di berbagai vihara sekitar Jakarta, Tangerang (Banten), dan Bogor. Kali ini, Litar mendapat bantuan Michael saat mengisi sesi Dhamma di Vihara Dharma Jaya, Petak Sembilan, Jakarta (Minggu, 26 Mei 2019).

Gerakan "Magic for Dhamma", menggunakan magic atau sulap sebagai salah satu media pembabar Dhamma tetap dilakukan.

Sulap dapat dijadikan sebagai media peraga Dhamma yang disampaikan, bisa juga sekedar hiburan bagi anak-anak SMB.

Semoga saja penggunaan sulap sebagai media pembabaran Dhamma menghadirkan keceriaan bagi anak-anak. Dhamma tersampaikan, anak-anak juga gembira.

Simak video penampilan Litar Suryadi dan Micahel di video berikut ini:



Sulap sebagai media pembabaran Dhamma adalah berkat kerja sama:

Mau, Anak Kita Pindah Agama?

Hendry F. Jan * | Sabtu, 13 Januari 2018 10.44 AM Culture

Ilustrasi: Agung Wijaya

Seorang remaja Buddhis (entah laki-laki atau perempuan), berpacaran dengan yang beda keyakinan, lalu menikah (remaja Buddhis ini pindah keyakinan). Anda pernah melihat kejadian seperti ini?

Penulis juga pernah melihat kejadian seperti itu. Bahkan yang kejadiannya lebih parah. Sejak kecil ia Buddhis, kedua orangtuanya Buddhis, kakaknya Buddhis, rumahnya dekat vihara, dan biaya pendidikannya didukung program adik asuh dari organisasi Buddhis. Ia berpacaran dengan yang beda keyakinan, sekarang ia sudah menikah dan akhirnya pindah keyakinan.

Tak ada yang dapat kita lakukan jika melihat kejadian seperti ini. Agama adalah wilayah privasi. Itu hak pribadi yang bersangkutan. Dan kejadian ini (pindah keyakinan), tidak hanya terjadi pada Buddhis saja, tapi juga pada umat beragama lain.

Hanya saja penulis jadi sering bertanya-tanya, apakah ada yang “salah” dalam pendidikan agama Buddha?



Sejak dini
Pendidikan agama seharusnya diberikan sejak dini. Sejak anak masih kecil (bahkan sebelum bersekolah) anak harus dikenalkan dengan agama, karena agama adalah fondasi kehidupan.

Papa dan Mama mengajak anaknya ikut bersembahyang di altar (jika ada altar di rumah). Atau mengajarkan Dhamma dengan cerita, atau memutar film kartun Buddhis (meski belum banyak, tapi di zaman teknologi sekarang ini, segalanya jauh lebih mudah, misalnya mencari film Buddhis di YouTube).

Ada cara yang lebih mudah, hari Minggu, ajaklah si kecil ikut ke vihara. Ikut pujabhakti jika di vihara tersebut belum ada SMB (Sekolah Minggu Buddhis).



Pilih sekolah
Ada kasus lain yang penulis ketahui, anak pindah keyakinan karena pergaulan dan pengaruh lingkungan. Pengaruh lingkungan bagaimana? Senin hingga Jumat, ia belajar dan berdoa sesuai agama dari lembaga pendidikan tersebut.

Hari Minggu pun ia tidak bisa ke vihara karena ada tugas dari sekolah untuk pergi ke tempat ibadah lain (waktunya bersamaan dengan pujabhakti di vihara). Dalam hal ini, pergaulan dan lingkungan merupakan faktor yang berpengaruh besar bagi anak dalam pemilihan agama jika orangtua tidak membekali pengetahuan Dhamma sejak dini.

Kita tahu, sekolah Buddhis belum banyak. Kalaupun ada di kota tersebut, belum tentu umat Buddha menyekolahkan anaknya di sekolah Buddhis.

Banyak hal yang melatarbelakangi hal ini. Mungkin lokasi sekolah sangat jauh dari tempat tinggal, mungkin biaya pendidikannya relatif mahal, mungkin jenjang pendidikannya belum ada (anaknya sudah SMP, sementara sekolah Buddhis di kota itu baru ada jenjang SD), dan alasan lainnya.

Ada satu pertanyaan yang selalu kami tanyakan saat mendaftarkan anak ke sekolah (sejak PG hingga SMP), hal ini selalu kami tanyakan. “Kami sekeluarga Buddhis. Kami tidak masalah di sekolah anak kami belajar agama yang sesuai dengan agama yayasan sekolah ini. Tapi hari Minggu anak-anak kami harus pergi ke vihara. Apakah hari Minggu anak juga harus ikut pelajaran agama dari sekolah?” itu yang kami tanyakan.

Dan untungnya, guru dan kepala sekolah menjawab, “Tidak ada Pak. Kegiatan sekolah hanya hari Senin sampai Jumat. Kegiatan ekskul pun sama. Hanya terkadang ada ekskul yang terpaksa digeser ke hari Sabtu. Hari Minggu tidak ada jadwal kegiatan sekolah.”

Sudahkah Anda pertanyakan hal ini saat mendaftarkan buah hati Anda? Kalau ada kewajiban ikut kegiatan (ibadah) sampai hari Minggu, ada baiknya Anda mencari sekolah lain.



Ikut SMB
Langkah paling mudah untuk menyiapkan fondasi agama Buddha bagi putra-putri Anda adalah mengajaknya ke vihara dan ikut SMB (Sekolah Minggu Buddhis).

Terlebih bagi Anda yang kurang begitu mengenal Dhamma atau kurang bisa menjadi guru yang mengajarkan Dhamma kepada buah hati Anda. Anda cukup mengajarkan Dhamma dengan menjadi teladan bagi mereka.

Penulis amati, langkah-langkah yang diambil para pembina SMB sudah cukup baik (meski bukan pembina SMB, penulis ikut dalam group WA “Pembina SMB” dan memantau perkembangan Sekolah Minggu Buddhis di Indonesia).

Para pembina SMB inilah yang menyiapkan fondasi Dhamma bagi murid-murid Buddha (putra-putri kita) agar keyakinan mereka pada Buddhadhamma tidak mudah goyah.

Mereka (para pembina SMB) menciptakan suasana belajar yang menarik agar anak mau ikut SMB. Ada SMB yang memberikan poin bagi setiap anak yang hadir, poin tambahan jika jadi pemimpin pujabakti, poin tambahan jika bisa menjawab pertanyaan. Poin ini nantinya bisa ditukar dengan aneka macam hadiah, dari alat tulis, stiker, sampai boneka.

Belajar Dhamma di SMB kini bervariasi, tidak hanya mendengar kakak pembina bercerita, tapi terkadang juga diisi dengan menonton film kartun Buddhis, bernyanyi, membuat aneka kerajinan, dan lain-lain.

Ada juga yang mengadakan perayaan ultah bersama setiap bulannya. Ada yang mengadakan kegiatan outing (mengunjungi SMB lain atau pergi ke tempat wisata). Setiap selesai kegiatan SMB, selalu ada konsumsi buat buah hati Anda. Jika Anda peduli dengan SMB, sesekali Anda dapat berdana makanan bagi anak-anak SMB.

Sekarang “Pembina SMB” memiliki sebuah aplikasi bernama “Majalah SMB” yang akan menyajikan berita-berita kegiatan SMB dan memuat karya anak-anak SMB dari berbagai kota di Indonesia. Semua ini dilakukan untuk menarik minat anak-anak datang ke SMB.

Pilihan agama memang adalah hak pribadi setiap orang, tapi sebagai Buddhis, penulis yakin Anda ingin anak-anak Anda tetap jadi murid Buddha hingga akhir hayatnya.

Satu keyakinan dalam sebuah keluarga, tentu lebih memudahkan dalam banyak hal. Anda sekeluarga bisa datang bersama-sama ke vihara pada hari Minggu atau saat perayaan Trisuci Waisak, mengikuti prosesi pernikahan putra-putri Anda di vihara, saat ada permasalahan, kita memiliki pedoman yang sama, yakni Tipitaka.

Bukankah semua anicca? Semua yang berkondisi tidaklah kekal. Iya, benar. Tidak ada hal yang kekal. Anak beragama A, bisa pindah jadi pemeluk agama B. Tapi yang harus diingat, sebagai orangtua Buddhis, kita harus berusaha memberikan fondasi Dhamma sejak dini. Itu tugas kita sebagai orangtua.

Mari bersama, kita siapkan murid Buddha agar kelak Dhamma tetap jadi pedoman utama hidup mereka. Pembina SMB, anak-anak SMB, orangtua yang anaknya usia SMB, dan yang peduli SMB, jika ingin download aplikasi “Majalah SMB”, silakan klik: Majalah SMB



* Pembuat aplikasi Buddhis, Buddhapedia. Suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung. Mengelola dua portal informasi Buddhis yakni, www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com

Sumber: BuddhaZine


 Hendry Filcozwei Jan

Guru Sekolah Minggu Buddhis di Australia yang Penuh Pelukan


Lee Chan dan David adalah pasangan suami-istri Buddhis yang sering berkontribusi dalam pemenuhan kebutuhan Sangha di Wihara Bodhinyana, Perth, Australia dan di beberapa wihara lain. Setelah 10 tahun tinggal di Perth dan rutin menjalani perbuatan baik ini, Lee sadar bahwa butuh usaha lain untuk mengembangkan Buddhisme. Ia kemudian mendirikan sekolah Minggu Buddhis bagi anak-anak.

Mereka sadar bahwa masa paling krusial dalam pembentukan kepribadian adalah pada masa kanak-kanak dan remaja. Banyak orang berbondong-bondong membangun wihara untuk memfasilitasi ibadah umat Buddha. Padahal, kalau cuma wihara yang bertebaran sementara pendidikan Buddhis tidak diindahkan, Buddhisme tidak akan berkembang.

“Siapa pun yang tertarik bisa datang dan bergabung,” ujar Lee yang bersama suaminya kompak mencukur habis rambutnya. Ia membuka sekolah Minggu untuk semua anak dari semua kalangan. Ia tidak membatasi agama lain untuk belajar nilai-nilai Buddhisme di sekolah Minggunya. Di samping itu, ia tidak mengajarkan teori-teori dalam Buddhisme semata. Ia fokus pada pembentukan kepribadian yang baik yang sesuai Dharma. Ia menggunakan kalimat sederhana yang dipahami anak-anak dalam mengajar. Misalnya saat mengajar sila pertama Pancasila Buddhis, ia menjelaskan dengan cara, “Membunuh binatang adalah perbuatan buruk. Kalian hanya perlu membawa binatang itu keluar jika merasa terganggu.”

Lee mengondisikan sekolah Minggu yang berbeda dengan sekolah Minggu pada umumnya. Kalau kita terbiasa dengan membaca paritta atau sutra, menyanyikan lagu Buddhis, kemudian pulang dengan membawa makanan dari sekolah Minggu, Lee punya cara yang unik dalam mengajar anak-anak. Ia memeluk setiap anak muridnya sebagai salah satu bentuk kasih sayang yang selalu diajarkannya. Ia menginginkan anak-anak merasakan kehangatan dan melakukan hal yang sama kepada orangtua mereka. Lee memanggil semua orang dengan sebutan “Darling”. Ia menjelaskan kepada murid-muridnya, “Kalian harus menyayangi orangtua, adik, kakak, guru, teman, dan semua makhluk.” Karena hal ini, ia bahkan mendapatkan julukan “Hugging-teacher-Lee”. Walaupun Lee kadang tidak sempat untuk mengajar di sekolah Minggu, anak-anak selalu datang kepadanya dan memeluknya. Setelah itu, ia akan menyempatkan waktu untuk mendengarkan anak-anak bercerita tentang orangtua dan masalah-masalah mereka.

“Anak-anak sangat jujur. Setiap masalah yang tidak berani mereka ceritakan kepada orangtua, mereka ceritakan kepada guru sekolah Minggu,” kata Lee. Pernah suatu kali seorang anak bercerita bahwa orangtuanya melanggar salah satu sila yang sudah diajarkan padanya. Lee lalu menemui orangtua anak tersebut dan bicara kepada mereka bahwa jika mereka ingin anak-anak menjaga sila, mereka juga harus mempraktikkan Pancasila Buddhis supaya tidak membuat anak-anak bingung.

Inilah perbedaan sekolah Minggu yang didirikan Lee dengan sekolah Minggu lain. Interaksi antara guru dan murid sangat erat, sehingga anak-anak selalu menanti hari Minggu. Mereka tidak hanya mendapatkan teman bermain, tetapi juga mendapatkan kasih sayang yang jarang didapatkan dari orangtua mereka yang sibuk.

Tidak hanya itu, sekolah Minggu ini juga mengajarkan Dharma dengan cara yang menarik. “Pada akhir tahun, murid dari seluruh kelas bergabung untuk membuat sebuah drama Buddhis. Karena itu, mereka menjadi dekat satu sama lain,” ujar David. Cerita yang sering diadaptasi ke dalam drama Buddhis adalah cerita-cerita lucu yang dikisahkan oleh Ajahn Brahm. Metode pengajaran Dharma seperti ini sangat disukai anak-anak dan bahkan para orangtua.

Meditasi juga diajarkan di sekolah Minggu. Lagi-lagi, uniknya, anak-anak tidak dipaksa meditasi. Mereka dibiasakan secara bertahap: mulai dari duduk diam selama 5 menit untuk mendengarkan kicauan burung dan suara alam, kemudian durasi ditambah menjadi 10 menit, sebelum akhirnya mereka diajarkan meditasi dengan memerhatikan napas selama 15 menit.

Minat orang Australia terhadap Buddhisme terbukti amat besar. Hal ini terlihat dari total 100 anak yang didaftarkan oleh orangtua untuk belajar Dharma di sekolah Minggu yang diadakan di Dhammaloka City Centre, Perth. Bahkan, ada 20 anak lagi dalam waiting list yang menunggu kesempatan untuk belajar Dharma. Lee tidak langsung menerima anak-anak dalam waiting list. “Saya ingin fokus pada kualitas, bukan kuantitas. Karena, kami harus memberi perhatian kepada anak-anak dan berbicara dengan mereka,” ujarnya. Alasan lainnya adalah karena sekolah Minggu hanya memiliki sembilan guru yang semuanya relawan, sehingga jumlahnya tidak memadai untuk memerhatikan lebih banyak anak. Meskipun semua guru adalah relawan, mereka direkrut dengan kualifikasi khusus, untuk menjamin mereka bisa mengajar dan berinteraksi dengan baik dengan anak-anak.

Murid sekolah Minggu dibagi ke dalam empat kelas. Yang pertama adalah Pre-Primary ( 3-5 tahun), Junior ( 5-7 tahun), Middle (8-12 tahun), dan Senior (12-17 tahun). Sekolah Minggu ini juga memiliki peraturan layaknya sekolah formal dan memiliki silabus yang baku.

“Sekolah Minggu adalah pendekatan yang halus. Hal ini seperti menanamkan benih ke dalam anak-anak. Jika setelah lulus dari sekolah Minggu ini mereka memilih beragama Islam atau Kristen, semua itu keputusan mereka,” ujar David. “Tak pandang apa agama mereka, kami senang mendidik anak-anak sejak kecil untuk menanamkan nilai-nilai yang baik, nilai-nilai universal yang didasari oleh nilai-nilai Buddhisme.” (
Paramita Gotami)

Sumber: BuddhaZine

Memperkenalkan Agama Buddha Pada Anak Sejak Dini

Sumber foto: Majalah SMB

Sumber foto: Majalah SMB
  
Banyak orangtua yang mungkin bingung bagaimana memperkenalkan agama Buddha pada anak, atau pada usia berapa anak sebaiknya diajak ke sekolah Minggu.

Kebanyakan merasa usia anaknya masih terlalu kecil untuk mengikuti kegiatan sekolah minggu yang diadakan. Ada juga yang menganggap bahwa sebaiknya anak mulai diajak ketika sudah SD saja, akibatnya jika anak bersekolah di sekolah agama lain, mereka justru lebih dulu mengenal ajaran agama lain ketimbang agamanya sendiri.

Sebenarnya sejak 1 tahun anak sudah boleh diajak ke sekolah Minggu. Rata-rata vihara pasti memiliki sekolah Minggu, bahkan banyak vihara yang memisahkan anak berdasarkan usianya.

Lalu bagaimana jika anak tidak bisa mengikuti?

Tidak perlu khawatir, coba Anda pikirkan, sekarang saja banyak sekolah yang membuka kelas pre school di mana anak mulai usia 1,5 tahun sudah bisa bersekolah. Apa anak bisa mengikuti? Tidak juga, yang penting anak belajar berinteraksi baik secara fisik, visual, maupun audio.

Begitu juga dengan sekolah Minggu di vihara, tidak perlu khawatir jika mereka belum bisa mengikuti. Yang terpenting mereka mulai mengenal agama Buddha baik melalui lagu, gambar, paritta, dan lain-lain. Jadi yuk mulai perkenalkan agama Buddha sejak dini kepada anak Anda.

Sumber artikel: Agama Buddha

Selamat Hari Trisuci Waisak 2563 BE - 2019


Kreativitas Pembina SMB: Bermain Musik dengan Botol Bekas




Sharing Dhamma di Sekolah Minggu Buddhis (SMB) dapat dilakukan lewat berbagai media. Dhammadesana, story telling, menonton film, menyanyikan lagu Buddhis, permainan, dan lain-lain. 

Pembina SMB dituntut kreatif agar anak-anak tertarik untuk ikut SMB setiap minggu. Jika di Tangerang, ada Litar Suryadi yang menggunakan sulap sebagai media pembabar Dhamma, lain lagi di Temanggung.

Menghasilkan sesuatu yang unik dan menarik tidak selalu harus mahal. Saryanto (Abdi Desa Ehipassiko) dari Kaloran, Temanggung menggunakan botol bekas yang diisi air sebagai alat musik. Setiap minggu Saryanto mengajarkan anak-anak SMB memainkan lagu-lagu Buddhis dengan alat musik dari botol bekas ini.

Banyak cara yang dapat dilakukan untuk membabarkan Dhamma agar disenangi anak-anak. Pembina SMB dituntut kreatif, seperti Saryanto yang mengajarkan Dhamma lewat musik dari barang bekas yang mudah didapatkan.
Anda dapat membaca info dan menonton video tentang aktivitas SMB di aplikasi berbasis blog "Buddha Pedia" dan "Majalah SMB".

Silakan download kedua aplikasi tersebut di: 

"Buddha Pedia" klik saja: https://tiny.cc/buddhapedia-apps    

"Majalah SMB" klik saja: https://tiny.cc/majalahsmb    


Sumber video: Ehipassiko Foundation

Magic for Dhamma: Litar Mengisi Latihan Dasar Kepemimpinan

Bertempat di Vihara Mandalawangi Arama, Serang, Banten, Litar mengisi Latihan Dasar Kepemimpinan yang diselenggarakan oleh Dasa Paramita.

Berikut ini foto dan video-nya:







Sulap sebagai media pembabaran Dhamma adalah berkat kerja sama:

Magic for Dhamma: Litar Menyapa Sodong dan Kotabumi, Tangerang

Litar Suryadi terus berkeliling membabarkan Dhamma ke berbagai SMB (Sekolah Minggu Buddhis) sekitar Tangerang, Jakarta, dan Bogor. 

Kali ini giliran Cetiya Vijja Gana - Kotabumi, Tangerang (Kamis, 9 Mei 2019) dan Litar memberikan Ceramah Umum di Cetiya Brahma Vihara, Sodong-Tangerang (Jumat, 26 April 2019). Berikut foto-fotonya:


Cetiya Vijja Gana - Kotabumi, Tangerang


 
 Cetiya Brahma Vihara, Sodong-Tangerang



Sulap sebagai media pembabaran Dhamma adalah berkat kerja sama:

Selingan Sulap di SMB V. Dharma Subha, Poris Indah, Tangerang

Belajar Dhamma itu harus menyenangkan. Karena itulah para Pembina SMB dituntut kreatif dalam penyampaian Dhamma. Banyak media yang dapat digunakan untuk menyampaikan Dhamma, salah satunya adalah sulap.

Siapa yang tak suka sulap? Rasanya sulap disukai semua kalangan, dari anak-anak TK hingga Opa Oma suka jika menyaksikan sulap.

Sulap dapat digunakan sebagai media penyampai Dhamma, tapi bisa juga sekedar hiburan agar suasana tidak membosankan.

Kali ini setelah memberikan materi Dhamma,  Litar Suryadi menghibur anak-anak SMB Vihara Dharma Subha, Poris Indah, Tangerang.

Anak-anak SMB terhibur, pesan Dhamma tetap tersampaikan. Ayo, rajin-rajin ke vihara ya...

Anda dapat membaca info dan menonton videonya di aplikasi berbasis blog "Buddha Pedia" dan "Majalah SMB", cari posting di kedua aplikasi tersebut dengan label "Magic for Dhamma".

Silakan download kedua aplikasi tersebut di:

"Buddha Pedia" klik saja: www.tinny.cc/buddhapedia-apps

"Majalah SMB" klik saja: www.tiny.cc/majalahsmb

Bagi SMB sekitar Jawa Barat, Banten, dan Jakarta yang ingin kami mengisi SMB (tentu ada selingan sulapnya), silakan hubungi Yayasan Dasa Paramita (wadah anak buddhis dan Dhammaduta muda) WA: 0812 9037 3339.

Berikut videonya:





  


Sulap sebagai media pembabaran Dhamma adalah berkat kerja sama:




Kami memiliki group WA "Pembina SMB". Jika Anda adalah Kakak Pembina SMB, ayo bergabung ke group dengan cara kirim pesan via WA ke Litar Suryadi: 0812 9037 3339.

Kita bertukar pikiran tentang materi untuk SMB dan berbagi pengalaman selama mengajar di SMB. Kami juga memiliki aplikasi "Majalah SMB" yang bisa dijadikan media untuk memuat berita kegiatan SMB di tempat Anda dan juga media yang memuat karya anak-anak SMB tempat Anda mengajar. Kirimkan berita dan foto ke Admin, Admin akan menampilkannya di aplikasi "Majalah SMB"

Ayo download dan pasang aplikasi Majalah SMB di ponselmu. Klik saja: "Majalah SMB"


Info lengkap tentang sharing Dhamma dengan media sulap di SMB, bisa dibaca di sini (klik saja): Sim Salabim: Sulap, Pembina SMB, Majalah SMB, dan Dhamma

Magic for Dhamma: Sharing Kepada Remaja VTBS, Kelapa Gading, Jakarta Utara



Minggu, 28 April 2019 kembali Litar Suryadi sharing Dhamma. Kali ini Litar sharing untuk remaja di Vihara Theravada Buddha Sasana (VTBS), Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Tentu saja, dalam membabarkan Dhamma, Litar menyelipkan sulap. Kali ini Litar menjelaskan agar remaja Buddhis pandai-pandai menjaga diri. Bergaul dengan orang bijak. 

Pada dasarnya, orang baik akan bergaul dengan orang baik, orang yang memiliki perilaku buruk pun cenderung bergaul dengan teman yang sejenis. Mirip dengan air dan minyak, keduanya tak bisa menyatu. Iya, Litar mengibaratkan tali tiga warna ini, jika mereka terdiri dari orang baik dan buruk, mereka tidak bisa bersatu.

Tapi ketika ketiga orang tadi memiliki kesamaan visi misi, orang baik berkumpul dengan orang baik, mereka akan mudah akrab. Contohnya tali ini, mereka saling bergandengan tangan.


Apabila dalam pengembaraan seseorang tak menemukan sahabat yang lebih baik atau sebanding dengan dirinya, maka hendaklah ia tetap melanjutkan pengembaraannya seorang diri. Janganlah bergaul dengan orang bodoh.


Catatan:
Bagi SMB sekitar Jawa Barat, Banten, dan Jakarta yang ingin kami mengisi SMB (tentu ada selingan sulapnya), silakan hubungi Yayasan Dasa Paramita (wadah anak buddhis dan Dhammaduta muda) WA: 0812 9037 3339.


Sulap sebagai media pembabaran Dhamma adalah berkat kerja sama:




Kami memiliki group WA "Pembina SMB". Jika Anda adalah Kakak Pembina SMB, ayo bergabung ke group dengan cara kirim pesan via WA ke Litar Suryadi: 0812 9037 3339

Kita bertukar pikiran tentang materi untuk SMB dan berbagi pengalaman selama mengajar di SMB. Kami juga memiliki aplikasi "Majalah SMB" yang bisa dijadikan media untuk memuat berita kegiatan SMB di tempat Anda dan juga media yang memuat karya anak-anak SMB tempat Anda mengajar. Kirimkan berita dan foto ke Admin, Admin akan menampilkannya di aplikasi "Majalah SMB"

Ayo download dan pasang aplikasi Majalah SMB di ponselmu. Klik saja: "Majalah SMB"


Info lengkap tentang sharing Dhamma dengan media sulap di SMB, bisa dibaca di sini (klik saja): Sim Salabim: Sulap, Pembina SMB, Majalah SMB, dan Dhamma